Masihkah Kita membutuhkan Perayaan Hari Lingkungan Hidup?
oleh : Zulfiqar Busrah (Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Paepare)
Seremonial dan Gerakan Sosial atas Nama Lingkungan
OPINI— Rasanya kita tidaklah berkekurangan stok hari-hari besar untuk merayakan perhatian dan kepedulian kita terhadap bumi dan seluruh dimensi ekologinya. Setidaknya, masih segar dalam ingatan bahwa dalam setahun kita rayakan sejumlah hari istimewa atas nama kepedulian terhadap lingkungan. Sebagaimana, 22 April di setiap tahunnya kita selalu menyerukan kecintaan kita terhadap bumi dalam rangka memperingati Earth Day.
Demikian halnya 5 Juni di tahun ini, kita pun masih dalam suasana hari lingkungan, ucapan selamat hari lingkungan mendominasi timeline social media meskipun dalam masa teror Pandemi COVID 19. World clean up day, beragam aksi sosial berskala global yang mengajak masyarakat di seluruh dunia, membersihkan bumi dari limbah yang setiap tahunnya diperingati pada 21 September. World Tree Day, sebagai hari pohon sedunia 21 November yang lazimnya dirangkaian dengan gerakan tanam pohon secara massif dari beragam komunitas.
Kita pun tidak lupa gerakan Earth hours day, sebagai gerakan untuk membangkitkan kesadaran ekologis dan hemat energi yang diwujudkan dengan mematikan lampu selama satu jam pada bulan Maret setiap tahunnya. Tentunya gerakan-gerakan ini, baik dari kalangan aktivis maupun dari kalangan yang tersentak secara dadakan di hari lingkungan hidup sedunia, meskipun hanya sebatas memasang desain poster di media sosial setiap perayaan hari-hari besar ekologi, ini semua menjadi penanda bahwa harapan untuk mendorong agar bumi kita tetap sehat dan berseri masihlah selalu ada.
Kita pun tak meragukan keberadaan lembaga, baik itu sebagai bagian dari pemerintahan maupun yang terorganisir di luar pemerintahan (NGO). Dengan adanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hal ini mengindikasikan bahwa negara pun tak ingin ketinggalan dalam pengelolaaan sumber daya alam dan lingkungan agar terkontrol dan terarah.
Adanya produk kebijakan seperti UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan komitmen konstitusi dalam memastikan Keberlanjutan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Tidak hanya sebatas itu, gerakan peduli lingkungan pun telah mulai digalakkan di tingkat sekolah, sebagaimana Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.52/MENLHK/SETJEN/KUM.1/9/2019.
Sementara itu, sejumlah organisiasi yang menghimpun aktivis-aktivis lingkungan telah mendorong Gerakan Sosial Peduli Lingkungan juga dalam jumlah yang tidaklah sedikit. Maraknya transformasi Gerakan Sosial Peduli Lingkungan di berbagai daerah dan di berbagai lembaga, berbagai komitmen telah dibangun, seperti halnya aksi meminimalisir penggunaan kantong plastik, gerakan mengorganisir masyarakat adat dalam hal perlindungan hutan adat.
Kita pun rasanya sangat berkecukupan dari segi akademik, adanya pembukaan Program Studi di sejumlah Perguruan Tinggi yang berorientasi pada Pengelolaaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Sonny Keraf dalam kajiannya telah membukukan pergumulan pemikiran dan segenap keresahannya, yaitu Etika Lingkungan hidup, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, dan Filsafat Lingkungan hidup yang berbasis pada pemikiran Fritjof Capra dengan bangunan konsepsi Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan.
Spirit yang coba didorong dalam ketiga buku ini menyerukan kesadaran ekologis kita akan krisis dan bencana lingkungan. Di buku inipun, Sony Keraf merekomendasikan langkah-langkah teknis untuk mengatasi problem lingkungan kepada semua stakeholder. Intinya bagaimana sebaiknya perilaku pemerintah dalam merumuskan dan mengeksekusi kebijakan, bagaimana mestinya perilaku dunia usaha dan industri, hingga perilaku individu untuk bisa berkontribusi nyata membangun komitmen biotisme, komitmen humanisme, ataupun atas nama komitmen nasionalisme.
Ironi dari Kenyataan Lingkungan Hidup
Di tengah gencarnya gerakan akan kepedulian lingkungan dalam berbagai dimensi, toh kita masih diperhadapkan pada fakta-fakta yang memiriskan bagaimana duka- duka lingkungan di sekitar kita masih terus terjadi. Bencana ekologi di depan mata terus menerus berlangsung, jeritan satwa-satwa yang kehilangan rimbanya terdengar di mana-mana. Sebagaimana secara statistik, oleh WALHI dalam satu forum mengungkapkan bahwa problem kerusakan hutan yang berdampak pada ekosistemnya, pencemaran udara, sampah, banjir, abrasi, kesulitan air bersih, pencemaran tanah, pencemaran udara masihlah sangat memprihatinkan.
Lantas kemudian yang menjadi pertanyaan, masihkah perayaan tahunan akan kepedulian lingkungan cukup mampu kita andalkan, apakah gerakan-gerakan yang ada dengan berbagai aksinya kewalahan tak berdaya di hadapan kekuatan-kekuatan besar yang telah mengakar di perut bumi oleh nafsu segelintir manusia, atau jangan-jangan kita semua sama saja “Hanya seolah Peduli”. Apa yang menjadi sumber persoalan?
Seyyed Hossen Nasr : Masalah lingkungan adalah Problem Sains Modern
Dalam bentang pemikiran Seyyed Hossen Nasr, ia mencoba mengorganisir dan memetakan akar masalah atas sejumlah problem-problem ekologi. Menurut Nasr, pada kenyataanya manusia modern secara sadar dilanda kecemasan atas risiko krisis ekologi, polusi dan teror-teror masa depan atas masalah kelangkaan sumber daya alam. Dari sini, Hossein Nasr yang pernah berada di bawah bimbingan Bertrand Russel meyakini bahwa persoalan ini bukanlah dari keterbelakangan ataupun sebab dari kemunduran berpikir manusia, namun justru dipicu oleh kemajuan (overdevelopment).
Lebih lanjut, Hossein Nasr mengatakan rapuhnya jiwa manusia, di saat manusia modern menyingkirkan dimensi Ilahiyah dan mengambil alih peran-peran ke-Tuhanan. Sumber masalah yang coba dikemukaan oleh Hossen Nasr tidak terlepas dari problem besar yang mengakar pada nalar eksploitatif oleh manusia terhadap alam semesta. Dalam salah satu buku yang ditulis Sayyed Hossen Nasr terselip satu guyonan yang menyatakan bahwa In traditional societies, nature was seen as one’s wife, but the modern Turned it into a prostitute.
Kurang lebih guyonan ini dapat dimaknai bahwa adanya bangunan relasi kuasa manusia modern terhadap alam, di sini alam diibaratkan objek yang tuna susila diposisikan sebagai exprostitut yang harus siap melayani untuk memuaskan tuannya, tidaklah diperlakukan sebagaimana istri yang selain digunakan, dimanfaatkan dan dinikmati, tetapi juga ada tanggungjawab untuk merawat dan menafkahinya atas kesejahteraan dan keberlanjutannya.
Manusia modern memposisikan diri sebagai penguasa alam, sebagai sentral kehidupan yang kemudian dikenal dalam istilah antroposentris. Disinilah Kemudian Hossein Nasr menganggap paradigma inilah yang menjadi sumber nestapa bagi manusia modern, dengan mendewa-dewakan sains.
Kritik Hossein Nasr terhadap Sains Modern
Oleh Nasr, sains modern dianggap sekuler yang lepas dari nilai etis dan nilai spiritual. Manusia modern dengan kemampuannya mampu mengembangkan bom atom, mengembangkan virus, namun tidak terlepas dari motif-motif keserakahan atas kekuasaan. Tak dapat dipungkiri, bahwa sains modern melahirkan kecanggihan yang dianggap sebagai kemajuan, namun demikian tetaplah kemajuan tereduksi hanya pada aspek rasio dan empiris saja, Nasr kemudian menyebutnya sains modern mendegradasi peran intelegensi.
Dengan ini, manusia sedang menurunkan level kemuliaanya, merendahkan dirinya dengan memarjinalkan potensi intuisi, naluri dan imajinasinya. Alam kemudian dimanifestasikan secara mekanistik, ibarat mesin yang dapat dieksploitasi dan diprediksikan secara mutlak, alam hanya sebatas alat untuk memenuhi motif, hasrat dan egois manusia. Problem sains modern, ada modus berpikir subjek objek oleh warisan dualisme Descartes. Peradaban manusia modern mereduksi potensi-potensi manusia.
Menurut Nasr, filsuf yang meraih gelar masternya di MIT (1956) ini memandang bahwa perangkat intelegensi bagi manusia modern hanya difokuskan pada rasio dan aspek empirisnya. Di sisi lain oleh gerakan rasionalisme, spiritualitas menjadi kehilangan tempat. Pengetahuan masyarakat modern, membuat manusia menjadi berjarak atas kebahagiaan-kebahagiaan spiritualnya. Oleh adanya kehampaan spiritual inilah, mengakibatkan terjadinya krisis kemanusiaan di era modern.
Scientia Sacra (Pengetahuan Suci) , Tradisionalitas dan Spiritualitas
Hilangnya khasanah pengetahuan suci (Scentia Sacra) yang bagi manusia modern dianggapnya sebagai hal primitif. Melalui pendekatan perenialisme, Nasr kemudian menawarkan gagasan tradisionalitas, dengan menyandarkan problematika modern terhadap nilai-nilai spiritualitas, termasuk problematika ekologis. Dengan meyakini bahwa hakikat manusia terletak pada jiwanya, maka persoalan jiwa manusia adalah persoalan nilai, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritualitas.
Namun tidaklah berarti bahwa, dengan menghadirkan tradisionalitas di tengah-tengah modernitas adalah upaya untuk mengganti unsur-unsur positif dalam dunia modern, ataupun hadir untuk membelenggu kreativitas manusia. Tradisionalitas dikehendaki oleh Nasr, untuk mengikis selubung ilusi atas kepalsuan-kepalsuan modernitas. Karena Nasr berkeyakinan bahwa sakralitas dan modernitas mestilah terangkul dan terbingkai dalam mengatasi problematika yang ada. Dengan memahami sakralitas dan transendensi alam, manusia modern dapatlah kembali merajut keharmonisan dengan lingkungannya secara hakiki.
Apa yang mesti kita lakukan
Apa yang menjadi gagasan-gagasan besar oleh Hossein Nasr, bisa saja dianggap terkesan dialektis, bahkan hanya sebagai fantasi dan hanya layak dibicarakan pada ruang-ruang akademis. Saya pun berpendapat, bahwa apa yang ditawarkan oleh Nasr, dengan menghadirkan spiritualitas dalam mengatasi problematika lingkungan adalah hal yang mendasar bagi kita semua, selanjutnya untuk kita sadari dan mengaktualisasikannya ke dalam ruang dan gerak kita sehari-hari.
Kita tidaklah mungkin untuk secara ekstrim, lari dari kenyataan dengan menyingkirkan semua perangkat perangkat teknologi yang telah kita miliki. Anda pun tak akan pernah bertemu dengan tulisan ini, tanpa gadget yang mungkin anda khawatikan sebagai elemen perusak lingkungan. Ini bukanlah suatu keterlanjuran, namun kita haruslah tetap progresif dan berinovasi, tanpa merusak lingkungan. Kita mestilah, tetap optimis dan membangun keyakinan bahwasanya kita dan alam semesta sama-sama berstatus sebagai ciptaan, maka relasi yang perlu kita bangun adalah dengan memperlakukannya kembali secara terhormat, membangun relasi yang mulia, sebagaimana suami memperlakukan istri dalam koridor-koridor etis.
Hari-hari istimewa pun, akan kepedulian lingkungan mestilah tetap kita galakkan secara bersama, dengan cara-cara yang jauh lebih bermakna dan intensif, lebih dari sekedar seremonial tahunan. Gerakan-gerakan sosial akan kepedulian lingkungan, mestilah kita dukung dan menjadi bagian yang secara aktif membuatnya jauh lebih bermakna, lebih dari sekedar dedikasi yang administratif, atau hanya sebatas eksistensi semu.
Para ilmuwan pun, mestilah menjadikan pengetahuan-pengetahuan akan kesehatan lingkungan sebagai tanggung jawab moral, dan juga sebagai guide buat pengambil kebijakan, lagi dan lagi demi keselamatan bersama. Pada level pemerintah dengan seluruh perangkatnya, berada dalam arus utama untuk merumuskan dan mengeksekusi kebijakan, semestinya kebijakan dirumuskan dan dijalankan dengan penuh kearifan. Mengelola SDA dan lingkungan dengan mengoptimalkan dimensi spiritualitas.