Skip ke Konten

OPINI: Iduladha dan Visi Solidaritas Sosial

9 Juli 2022 oleh
Hayana

Oleh : Mahyuddin
Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare

Humas IAIN Parepare–Iduladha atau lazim disebut sebagai hari raya Kurban merupakan salah satu hari agung umat Islam yang diperingati Saban 10 Dzuhijjah, bulan ke-12 dalam tahun Hijriyah.

Dalam konteks tersebut, masyarakat Islam di berbagai belahan dunia tidak saja melakukan ritual peribadatan salat Id, tetapi disunahkan (dianjurkan) bagi setiap individu yang berkecukupan secara materiel untuk berkurban sebagai bentuk persembahan kepada Ilahi Rabbi pada hari lebaran.

Di hari raya Kurban, seorang menyembelih binatang (baca; kurban) diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari Iduladha. Jika diselisik lebih dalam, ada nilai altruisme universal yang dapat ditemukan dalam fenomena berkurban. Ya, tradisi religius yang satu ini menyimpan nilai-nilai kebersamaan, dan saling respek pada individu yang melintasi batas ajaran agama, ras, dan geografi.

Semangat Berbagi

Pada perayaan hari raya Kurban, umat Islam mempunyai budaya yang mengedepankan semangat berbagi. Sahibul Kurban akan membagikan kepada orang-orang yang “membutuhkan” seperti fakir-miskin dan yang tidak mampu. Bahkan, untuk kelompok penganut agama lain sekalipun jika membutuhkan akan diberi dan disuguhkan daging kurban.

Di sinilah peribadatan hari raya Kurban bertumpu pada semangat memberi yang menumbuhkembangkan rasa solidaritas sosial dalam kehidupan.

Masyarakat muslim menjadikan hari raya Iduladha sebagai sarana berbagi oleh mereka yang kelebihan harta, entah dalam bentuk sedekah, infak, maupun kurban. Tindakan sosial tersebut bertujuan untuk mencari mardhatillah (rida Allah). Karena itu, mereka yang berkurban bukan hanya sebatas berbagi pada keluarga inti atau kerabat, melainkan dalam skala yang lebih luas menjangkau kelompok komunitas yang lain.

Dalam konteks ini, momentum Iduladha berkontribusi bagi kehidupan secara kolektif. Betapa tidak, ada semacam kewajiban bersolider guna mencapai tujuan bersama dengan membangun sebuah relasi sosial berdasarkan perasaan hubungan emosional dan kepekaan sosial yang tinggi melalui kerelaan untuk berbagi.

Untuk itu, saya kira tidak berlebihan jika dikatakan puncak peribadatan ini mengandung makna sosial bahwa sikap welas asih ialah suatu perbuatan sekaligus kesadaran sosial yang ditumbuhkembangkan dalam bermasyarakat.

Energi Sosial Perekat Kebersamaan

Dalam kehidupan modern, salah satu masalah serius yang menyelimuti masyarakat adalah makin menipisnya solidaritas. Situasi ini tentu tidak lepas dari dinamika ekonomi yang penuh persaingan sehingga makin mengikis solidaritas sosial. Lihatlah masyarakat perkotaan, warganya kadangkala berubah menjadi individu yang terisolasi dari yang lain dan bertindak hanya demi kepentingan sendiri.

Namun, kesadaran religius dalam berkurban terkait erat dengan praksis membangun kembali kebersamaan. Melalui momentum ini, rajutan kebersamaan selalu dikokohkan bersama dalam perayaan secara kolosal.

Hari raya ini, kita jadikan sebagai kekuatan pendorong untuk memenuhi kepentingan bersama sehingga, hari raya ini bukan hanya sebatas seremonial belaka, akan tetapi tujuan terpenting dari ritual ini ialah menghadirkan kepekaan sosial kita terhadap cita-cita kemaslahatan hidup bersama.

Inilah makna yang harus kita petik dari perayaan kurban, semangat saling mengasihi, dan mencintai sesama. Kita harus menyadari bahwa agama memang membawa good life yang tak boleh diabaikan begitu saja, meminjam istilah Habermas, di mana Iduladha telah menyediakan basis moral dan pelajaran berharga terkait visi solidaritas dalam relung-relung kehidupan bermasyarakat.

di dalam Opini
Hayana 9 Juli 2022
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip