Skip ke Konten

OPINI: Koalisi Jegal-Menjegal pada Pilpres 2024

23 Oktober 2022 oleh
khaerunnisaihwan

OPINI: Koalisi Jegal-Menjegal pada Pilpres 2024


Oleh: Rusdianto Sudirman, S.H, M.H.
(Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare)

OPINI—Setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden yang akan mereka usung dalam pilpres 2024 mendatang peta koalisi sudah mulai dapat kita prediksi. Setidaknya akan ada tiga atau empat poros koalisi yang akan terbentuk nantinya. Namun, tentu politik akan selalu dinamis, apalagi deklarasi capres belum tentu dapat mengusung calon presiden jika belum mencukupi presidential threshold, yakni 20 persen kursi DPR.

Menurut hemat penulis paling tidak akan ada empat poros koalisi yang dapat terbentuk. Pertama, poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang sudah deklarasi sejak awal yang beranggotakan GOLKAR, PAN, dan PPP (25,87 persen Kursi DPR), kemudian poros kedua yang beranggotakan NASDEM, PKS, dan Demokrat (28,50 persen kursi DPR), lalu poros ketiga yang beranggotakan Gerindra dan PKB (23,25 persen kursi DPR), dan poros keempat ada PDI Perjuangan yang menjadi satu-satunya partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres tanpa berkoalisi dengan partai lain dengan persentase perolehan kursi 22, 38 persen kursi DPR. Namun, poros koalisi tersebut di atas bisa saja mengerucut menjadi tiga poros atau bahkan dua poros koalisi, tergantung kesepakatan dan kalkulasi politik masing-masing parpol.

Hal inilah yang penulis sebutkan sebagai praktik koalisi jegal-menjegal, karena yang menjadi tujuan utamanya adalah kemenangan, tidak peduli kemenangan tersebut diperoleh dengan cara jujur dan adil ataukah kemenangan yang diperoleh melalui kecurangan dan kelicikan. Padahal esensi dari pelaksanaan pemilu adalah pemenuhan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat agar dapat melahirkan transisi kekuasaan dengan cara yang bermartabat dan menjunjung nilai-nilai demokratis sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.

Skenario Empat Poros Koalisi
Jika Nasdem, Demokrat, dan PKS telah sepakat berkoalisi maka komposisi idealnya mereka akan memasangkan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudoyono (AHY). Sosok king maker Surya Paloh dan SBY setidaknya sudah memiliki pengalaman yang cukup untuk merumuskan konsep pemenangan jika koalisi ini bisa terwujud.

Apalagi jika melihat hubungan emosional ketiga partai tersebut sudah terjaling sejak lama. PKS pun secara rasional tentu akan memilih poros koalisi yang dapat menampung kepentingan politik mereka, kecuali koalisi Gerindra dan PKB atau Koalisi KIB memberikan penawaran yang lebih rasional untuk kepentingan Partai PKS karena peluang berkoalisi dengan PDIP rasanya sulit tercapai jika melihat hubungan politik keduanya sepuluh tahun terakhir.

Kemudian koalisi yang digagas Golkar, PPP, dan PAN sampai hari ini belum menentukan siapa sosok yang akan mereka usung sebagai capres dan cawapres. Sosok Airlangga Hartanto saat ini dinilai belum memiliki elektabilitas yang begitu kuat untuk diusung sebagai capres jika dibandingan dengan nama-nama populer, seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Erick Tohir, dan Khofifah Indar Parawansa.

Namun, jika menggunakan perspektif demokratisasi partai politik, idealnya sebuah parpol memang wajib mengusung ketua umumnya sendiri. Karena akan menjadi kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi jika dalam kontestasi pemilu justru harus mengusung capres dari luar partai atau bahkan mengusung kader partai politik lain.

Kondisi seperti itu bisa saja terjadi andaikan PDIP nantinya tidak mengusung Ganjar Pranowo. Peluang Ganjar diusung oleh partai lain sangat mungkin terjadi, dan poros Koalisi Golkar, PPP, dan PAN sangat memungkinkan memanfaatkan momentum untuk mengusung Ganjar Pranowo. Begitupun dengan Ridwan Kamil, jika resmi bergabung sebagai kader partai Golkar maka besar peluangnya diusung baik sebagai capres maupun cawapres. Apalagi di berbagai kesempatan Ridwan Kamil menyatakan siap diusung meskipun hanya sebagai cawapres. Jadi nama-nama seperti Ganjar, Ridwan Kamil, Erick Tohir ataupun Khofifah Indar Parawansa sangat memungkinkan diusung oleh poros Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) ini. Namun sekali lagi politik itu dinamis, apapun bisa terjadi sampai saatnya tiba pendaftaran capres dan cawapres ke KPU. 

Selanjutnya, Poros Gerindra dan PKB, poros koalisi ini sudah lama membangun komunikasi, dan menurut penulis kedua partai inilah yang bisa menjadi percontohan dalam demokratisasi partai politik di Indonesia yang tetap konsisten mengusung ketua umumnya masing-masing untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.

Basis pendukung kedua partai ini juga dikenal mempunyai kader yang militan, dan tentu ini menjadi modal utama sebuah partai jika semua kader di setiap jenjang kepengurusan solid untuk memperjuangkan capres yang merupakan ketua umumnya sendiri. Kondisi berbeda jika yang diusung justru figur luar atau kader partai politik lain, militansi kader bisa saja tidak maksimal dan akhirnya koalisi yang terbangun hanyalah gerbong kosong. Hanya mendapat tiket menjadi capres dan cawapres, akan tetapi kader di akar rumput bermanuver untuk memenangkan capres cawapres pilihannya masing-masing.

Kemudian, PDIP satu-satunya partai politik yang bisa mengusung capres dan cawapres sendiri. Bahkan memasangkan duet Puan Maharani-Ganjar Pranowo ataupun sebaliknya sangat memungkinkan bagi PDIP. Namun, secara historis sangat sulit memenangkan pemilu presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain sehingga tentu PDIP sudah mempersiapkan strategi politik yang matang untuk kembali mempertahankan kekuasaan yang sudah dijalani selama sepuluh tahun terakhir.

Menurut penulis memaksakan mengusung Puan Maharani sebagai capres akan menjadi tantangan tersendiri bagi PDIP melihat elektabilitas Puan dari berbagai lembaga survei hanya berada di lima besar dibandingan nama populer lainnya. Sehingga pilihan yang sangat rasional bagi PDIP yakni bergabung dengan poros koalisi lainnya. Apakah bergabung di KIB bersama Golkar, PPP, dan PAN atau bergabung dengan koalisi Gerindra dan PKB. Karena berkoalisi dengan Nasdem, Demokrat, dan PKS rasa-rasanya sulit untuk diwujudkan melihat hubungan antara king maker masing-masing partai, yakni Megawati, SBY, dan Surya Paloh yang akhir-akhir ini terlihat berseteru secara politik. Namun, lagi-lagi dalam politik apapun bisa terjadi yang abadi hanyalah kepentingan, hari ini lawan, besok bisa jadi kawan.

Skenario Pilpres Dua Putaran
Jika pada akhirnya ada empat atau tiga poros koalisi yang terbentuk, maka skenario pilpres dui putaran bisa saja didesain sejak awal. Di sinilah praktik jegal-menjegal capres tertentu kemungkinan akan terjadi. Sehingga pada akhirnya akan ada pasangan capres dan cawapres yang tereliminasi pada pemilu presiden putaran pertama jika tidak ada pasangan capres dan cawapres memperoleh suara kemenangan 50 persen + 1 dan sebaran suaranya minimal 20 persen dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia.

Pada akhirnya, poros koalisi yang capres dan cawapresnya tereliminasi akan bergabung ke poros koalisi yang akan bertarung di pilpres putaran kedua. Maka, di sinilah konsistensi dan komitmen partai koalisi dipertaruhkan, apakah tetap solid atau kah terbelah ke dua kubu koalisi yang akan bertarung di pilpres putaran kedua.

Menurut penulis, koalisi untuk menjegal capres tertentu sangat memungkinkan untuk terjadi. Setidaknya ada dua nama yang berpotensi untuk dijegal, yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Kedua nama tersebut secara elektabilitas dan popularitas, sangatlah berpeluang menjadi presiden, akan tetapi kedua punya masalah yang sama yakni partai politik. Anies bukan kader partai politik, meski sudah dideklarasikan oleh Partai Nasdem posisinya rentan mendapatkan penolakan di internal partai ataupun dengan internal koalisi nantinya.

Sebaliknya, Ganjar Pranowo merupakan kader militan PDIP akan tetapi tidak mendapatkan restu dari ketua umum untuk menjadi calon presiden karena ada putri ketua umum yang diutamakan. Ganjar berpotensi tidak mendapat tiket untuk menjadi capres jika masing-masing poros koalisi menutup pintu baginya, dan Anies Baswedan berpotensi dijegal pada pilpres putaran kedua jika dia tidak mampu menang mutlak di pilpres putaran pertama.

Pada akhirnya koalisi jegal-menjegal akan menjadi anomali dalam sistem pemilu Indonesia. Akar masalahnya adalah presidential threshold yang mau tidak mau mewajibkan partai politik harus berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres.

Padahal secara konstitusional apabila partai politik sudah lolos menjadi peserta pemilu maka sudah dapat mengusung capres dan cawapresnya. Namun, semua upaya hukum setiap partai politik untuk mengusung capres dan cawapresnya sudah ditutup rapat oleh Mahkamah Konstitusi dengan tetap menyatakan presidential threshold tetap konstitusioanal karena merupakan open legal policy pembentuk undang-undang.

Semoga saja pemilu 2024 berjalan jujur dan adil, agar dapat melahirkan pemimpin yang berintegritas dan mampu menjaga stabilitas pemerintahan sehingga semua program-program yang dilahirkan nantinya bermuara pada kesejahteraan rakyat sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD NKRI 1945.


di dalam Opini
khaerunnisaihwan 23 Oktober 2022
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip