Skip ke Konten

OPINI: Polemik Penunjukan Pj Kepala Daerah

14 Juni 2022 oleh
Hayana

OPINI: Polemik Penunjukan Pj Kepala Daerah

Oleh : Rusdianto Sudirman, S.H, M.H

(Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare)

OPINI— Salah satu implikasi hukum pelaksanaan Pilkada secara serentak nasional pada tahun 2024 adalah polemik penunjukan jabatan Pj kepala daerah.  Praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan dalam pengisian Pj kepala daerah sulit dihindari. Hal tersebut dapat dilihat dari penunjukkan lima  Pj kepala daerah yang telah dilantik secara resmi oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.  Kelima Pj gubernur tersebut, antara lain Provinsi Papua Barat, Provinsi Banten, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Gorontalo.

Mekanisme penunjukan Pj kepala daerah di atas patut dipertanyakan dan kental  tendensi politiknya, pasalnya beberapa diantaranya tidak mempunyai pengalaman dalam pemerintahan sipil. Misalnya, Pj Gubernur Provinsi Papua Barat berasal dari jenderal polisi yang baru pensiun, kemudian  Pj Gubernur Bangka Belitung berasal dari Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian SDM dan Pj Gubernur Banten berasal dari Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga. Padahal stok pegawai ASN Kementerian Dalam Negeri dengan status  JPT Madya sangat bersyarat untuk diangkat menjadi Pj kepala daerah tanpa harus mengambil ASN yang berstatus TNI Polri.

Selain itu, mekanisme penunjukan Pj kepala daerah di atas mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XX/2022 dan ketentuan UU Nomor  5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menggariskan jabatan struktural ASN yang dapat diisi Anggota TNI/Polri hanya berlaku di sepuluh kementerian/Lembaga, tidak termasuk Pemerintah Daerah. Putusan MK sejatinya menjadi pedoman dasar bagi pemerintah dalam merumuskan aturan teknis pengisian Pj kepala daerah. Salah satu hal yang harus dimasukkan sebagi persyaratan  adalah pengalaman dalam pemeritahan sipil minimal lima tahun, serta penguasaan wilayah administrasi daerah tempat bertugas. Apalagi Pj kepala daerah nantinya akan menjalankan tugas selama dua sampai tiga tahun, sehingga tentu memerlukan hubungan koordinasi dan konsultasi dengan DPRD setempat. Utamanya terkait Pembahasan dan Penetapan Perda tentang APBD, RKPD, dan beberapa Rancangan Perda yang telah menjadi prioritas proglegda daerah.

Polemik  juga terjadi dalam penunjukan Pj Bupati Kabupaten Muna Barat dan Buton Selatan, dimana Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi menolak melantik tiga penjabat kepala daerah di wilayahnya karena Kemendagri mengabaikan nama yang diusulkan dari Gubernur. Penolakan tersebut tentunya wajar karena dalam menjalankan roda pemerintahan,  Pj bupati juga harus  menjalankan program kerja gubernur yang telah dimasukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Provinsi sehingga gubernur tentu berharap Pj kepala daerah yang diusulkannya dapat  disetujui dan dilantik agar dapat membantu mewujudkan visi misi serta program kerja pemerintah provinsi, baik yang termuat dalam RPJMD maupun dalam RKP tahunan.

Oleh karena itu, kegaduhan pengangkatan Pj kepala daerah harus diselesaikan melalui regulasi yang solutif. Penting untuk dipikirkan oleh pemerintah agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah dengan mempertimbangkan Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021, UU Nomor  5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dan tentunya memperbaiki aturan lama pengangkatan Pj kepala daerah yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan rezim pilkada serentak nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 74 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan rezim pilkada serentak nasional. Selain tidak transparan dan tidak partisipatif, regulasi tersebut di atas sangat tidak memadai karena hanya melibatkan gubernur, menteri dalam negeri, dan presiden tanpa mempertimbangkan beberapa Putusan MK yang dalam pertimbangan hukumnya menggariskan pengisian Pj kepala daerah harus transparan dan tidak mengesampingkan nilai-nilai demokratis agar terhindar dari Mal Administrasi dalam proses pengangkatan Pj kepala daerah.

Di samping itu pengaturan kewenangan Pj kepala daerah perlu diatur secara tegas, khususnya terkait kebijakan strategis yang berdampak pada daerah, mutasi pegawai, serta tindakan-tindakan yang berpotensi mendapatkan gugatan dari masyarakat. Karena Pj kepala daerah menjabat dalam waktu yang lama, bahkan ada yang menjabat sampai tiga tahun lima bulan, sehingga perlu diatur kewenangan apa saja yang dapat dijalankan, jika tidak potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa saja dilakukan Pj kepala daerah apabila kewenangannya tidak dibatasi. Masa jabatan dua sampai tiga Tahun sangat berpotensi disalahgunakan sehingga aturan pelaksanaan dan pengawasannya juga harus diatur secara tegas dan jelas. Oleh karena itu, menurut hemat penulis Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah harus segera diwujudkan sebagai tindak lanjut  Pasal 201 UU 10/2016 yang mengatur soal syarat, kewenangan, dan pengawasan Pj kepala daerah. Agar pengisian Pj kepala daerah terhindar dari tendensi politik oknum tertentu yang punya kepentingan besar dalam suksesi pemilu 2024, baik Pilpres maupun Pilkada.

Penulis berharap sebelum pelantikan Pj kepala daerah berikutnya dilaksanakan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah yang baru, jika Peraturan Pemerintah tersebut belum selesai dirumuskan dan terdapat jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, maka sebaikya Sekretaris Daerah ditunjuk sebagai Plh kepala daerah sambil menunggu terbitnya aturan teknis penunjukan Pj kepala daerah yang baru.

Penunjukkan Pj Kepala daerah sangat berpotensi menjadi celah oknum tertentu menitipkan kepentingan politiknya. Politisasi ASN Pemda dan Politisasi Bantuan Sosial kepada masyarakat sudah menjadi rahasia umum di setiap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Oleh karena itu pelibatan Pj kepala daerah dalam proses mutasi pegawai dan Penyaluran Bansos mesti dibatasi dan diawasi. Keberadaan Bawaslu beserta jajarannya tidak cukup untuk mengatasi politisasi birokrasi karena di Sekretariat Bawaslu juga ada ASN yang tunduk dan diatur oleh atasan. Semoga saja Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengangkatan Pj kepala daerah yang baru dapat menjadi regulasi yang responsif dan solutif.


di dalam Opini
Hayana 14 Juni 2022
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip