Skip ke Konten

OPINI: Quo Vadis Kampus Merdeka? Refleksi Ke Pembaharuan

5 Maret 2022 oleh
khaerunnisaihwan

OPINI: Quo Vadis Kampus Merdeka? Refleksi Ke Pembaharuan

Penulis: Wahyu Hidayat (Dosen Fakultas Tarbiyah, Alumni Ph.D the National University of Malaysia)

Ura ! ura ! ura !. begitulah Mr. Putin sang Presiden Rusia memberi semangat kepada bala tentaranya pada saat parade militer tahunan di negaranya. Kata “ura” kurang lebih memberi makna semangat sebagaimana kata takbir “Allahu Akbar” untuk menyemangati para mujahid melawan bala tentara musuh, dan kata takbir ini pula ini digunakan “kelompok sebelah” pada saat demo bahkan untuk mencaci maki pemerintah. Kata “ura” mempunyai spirit yang sama dengan kata merdeka yang biasa kita temui pada saat para pejuang republik ini berjuang melawan kolonial Belanda dan Jepang, bahkan kata merdeka sering kita dengar pada saat muqadimah atau penutup pidato dari salah satu ketua umum sebuah partai. Akhir-akhir ini, kata merdeka lumayan ramai dibincangkan di kalangan civitas akademik karena kata merdeka disandingkan dengan kampus. Jadilah “kampus merdeka”,  istilah yang kelak menjadi kebijakan andalan Pak Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.

Salah satu kebijakan dari kampus merdeka adalah penyederhanaan administrasi dosen, kurikulum berbasis keterampilan untuk dunia kerja dan penggunaan high tech. Sebetulnya isi dari kampus merdeka tidak jauh-jauh amat dengan konsep yang dulu pernah dicetuskan oleh Menteri Wardiman Djojonegoro tentang kebijakan “link and match”, dimana kurikulum didesain sedemikian rupa sehingga diperkirakan akan dapat menempatkan lulusan sarjana bekerja dengan lulusan pasar. Akibatnya, pendidikan lebih diarahkan pada kemampuan menyongsong pasar kerja. Pendidikan cenderung menciptakan kerja-kerja teknis, padahal kerja teknis bukanlah termasuk kerja intelektual dan dalam masyarakat modern untuk melihat fenomena fatalogi sosial diperlukan kerja filosofis untuk mengatasinya. Inilah yang dikhawatirkan jika suatu saat pendidikan tinggi hanya akan melahirkan yang dalam istilah George Ritzer (1996) disebut “McDonaldization of society”. Suatu proses masyarakat Industri yang bekerja dengan empat prinsip kuantifikasi, efisiensi, keterprediksian dan teknologisasi. 

Kuantifikasi yang terjadi dalam pendidikan tinggi muncul ketika cara evaluasi hasil dan produk hanya dilihat dari kuantitas ansich. Ukuran kuantitas diukur dari berapa banyaknya lulusan S1, S2 dan S3 yang dikeluarkan, tentunya dengan IPK di atas 3.0 atau di atas itu. Begitu pula kuantitas prestasi dosen diukur dari berapa banyak sitasi artikelnya dalam publikasi jurnal dikutip orang. Tidak peduli disitasi sendiri, atau bahkan sebagai penulis kesekian, di jurnal scopus abal-abal dan predator yang akhirnya discontinue. Mirip seorang guru besar bernama Abdullah M Asiri dari King Abdul Aziz University dengan banyaknya kutipan 66216 dan H-Indeks 112 tetapi tidak pernah menjadi penulis pertama. Kita mendengar seorang ilmuwan terkenal Jepang bernama Prof Shinichi Mochizuki yang tulisannnya sangat sedikit terindeks scopus atau Clarivate Analytics (Thomson Reuters), dan lebih senang menuliskan hasil penelitiannya di website pribadinya.  Adakah salah dengan H-indeks atau jurnal scopus? Tentu tidak, jika proses itu dilakukan dengan kaidah-kaidah rasional dan ilmiah. Kita sering terpesona dan bahkan terkesima dengan H-Indeks dan sitasi, walaupun kadang kita tidak sadar bahwa kita terperangkap dalam mafia jurnal scopus abal-abal dan akhirnya jutaan uang kita terkuras. Begitulah kalau pendidikan bergandengan dengan kapitalisme.

Terkadang, kita mengukur kuantitas seseorang dari seberapa banyak jago atau ahli dalam memegang mata-mata kuliah tertentu walaupun sebenarnya tidak ahli-ahli amat bahkan menyesatkan dan menjerumuskan. Sebagai contoh ada seorang teman menceritakan di kampus entah berantah yang mengajar mata kuliah statistik (nama mata kuliah salah, seharusnya statistika), dosen tersebut menjelaskan kepada mahasiswa S2 nya bahwa judul pengaruh bisa menggunakan analisis korelasi, entah ilmu dari mana itu sang dosen? “Sesat murakab”. Walaupun ilmu itu bisa dipelajari tetapi bukankah kita semestinya dengan rendah hati memberi kesempatan kepada mereka yang lebih mampu dan mendalami ilmu tersebut serta yang jelas sanad keilmuannya. Masih pentingkah sanad keilmuan? 

Kampus-kampus negeri dibiayai dari uang rakyat, jadi dalam proses pengelolaan dan pengawasannya perlu melibatkan partisipasi publik dalam hal ini “rakyat kampus”. Keterlibatan publik dalam anggaran pernah dicontohkan Presiden Jokowi saat menjadi Walikota dan Gubernur Jakarta dengan mengadakan festival anggaran. Luar biasa jika bisa dilakukan di kampus ! Karena pada dasarnya tidak ada alasan uang rakyat untuk pembiayaan kampus dikelola dengan sembunyi-sembunyi, justru jika ada orang yang mengatakan tidak semua orang perlu tahu tentang pengelolaan uang kampus ini perlu “dicurigai”.

Sistem kepemimpinan dengan gaya otoritarian dengan sistem top–down yang cenderung tidak memberi kesempatan kepada warga kampus untuk berdialektika atau sekadar mendengarkan saran dan menyerap aspirasi warga kampus hanya akan melahirkan  kampus yang “seolah-olah”. Kreativitas, kritis, bahkan suasana cair tidak akan muncul dengan kondisi kepemimpinan seperti ini. Apakah ini yang dimaksud dengan kampus merdeka?

Sesekali kita perlu mengambil yang baik di tempat lain bukan berarti harus mengekor atau sama penggunaan istilahnya. Sebagai contoh, Universitas Al-Azhar tidak terlalu peduli dengan world rangking bahkan saya tidak menemukan Universitas Al-Azhar masuk dalam Rangking 1.000 dunia. Tetapi, siapa yang tidak mengakui kehebatan alumni Azhar dan kebermanfaatannya bagi masyarakat? Bahkan kampus-kampus dari Jerman tidak ada yang masuk 20 besar dunia. Kita sering latah bahkan cemas melihat kampus lain berubah jadi universitas karena dianggap kita tidak akan mampu bersaing dengan menggunakan istilah Institut. Tapi kita lupa, ITB, ITS dan IPB sampai sekarang masih menjadi institut dan termasuk perguruan tinggi terbaik dibandingkan dengan kampus-kampus yang berlabel Universitas. Apakah tetap menjadi Institut kita akan kalah bersaing dengan Universitas?  

Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia atau dengan kata lain memerdekakan manusia yang merdeka. Begitulah mazhab pendidikan humanisme mengajak kita untuk menjadikan manusia sebagai manusia. Mahasiswa bukan kertas putih sebagaimana kata John Locke, atau botol kosong yang harus dijejali dengan pengetahuan tanpa makna karena target materi. Makanya yang seperti ini hanya akan melahirkan sistem pembelajaran gaya Bank (Learning Banking Style). Dalam konsep pendidikan Andragogis, mahasiswa bukanlah Maf’ul (objek) dan dosen sebagai Fa’il (subjek) melainkan dosen dan mahasiswa sebagai fail dan ilmu pengetahuan sebagai maf’ul. Maka dari itu, dosen dan mahasiswa hakikatnya mengembangkan ilmu pengetahuan melalui riset bersama dosen dan mahasiswa, bahkan diperlukan juga kolaborasi dengan masyarakat sebagai peneliti. Terkadang kita salah memahami, proses pengajaran berpusat pada mahasiswa diimplementasikan hanya dengan sekadar metode pengajaran diskusi, dimana mahasiswa bergantian mempresentasikan paper dengan tema yang sudah ditentukan tanpa bimbingan yang memadai. Padahal bukan hanya itu.  

Pendidikan tidak harus tercerabut dari akar budaya, sebagaimana kaidah fikih mengatakan ”almuhafdzu bil qadamish shalilh wal ahzu bil jadiidl aslah”. Maka pendekatan etno-pedagogi, etnosains, etnomatematika, integrasi sains dan agama, contextual learning atau apapun namanya adalah strategi-strategi yang perlu dicoba sebagaimana dekade keemasan ilmuwan muslim yang melahirkan-melahirkan konsep-konsep ilmu pengetahuan dari lingkungan sekitar. Karena hakikatnya alam ini sudah menyediakan segalanya.    

Bukan berarti warisan kebijakan yang lama harus diganti semua, tidak sedikit warisan di masa sebelumnya sangat baik. Olehnya itu, perlu kita rawat dan bila perlu kita perbaiki. Membuang semua kebijakan-kebijakan baik dimasa lampau adalah langkah yang tidak bijaksana dan kesombongan. “Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya, begitulah salah satu penggalan dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athailah”. Setiap perubahan belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik tetapi perubahan pasti menghasilkan pembaharuan. Tetapi manusia hanya berencana tetapi Tuhanlah yang menentukan sebagaimana mahfuzoh Arab ”Al-Insanu yudabirru Allahu yutakdiru”. Maka biarkanlah hukum termodinamika berjalan sebagaimana Marrie Currie atau Marya Sklodovska rela terkena radiasi isotop dari unsur yang ditemukannnya.

Wallahu a’lam bi shawab.


di dalam Opini
khaerunnisaihwan 5 Maret 2022
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip