Skip ke Konten

Sabda Langit di Penghujung Rajab

4 Maret 2020 oleh
Ade Musytahun Wahid

oleh: Budiman Sulaeman, S.Ag., M.HI (Dosen IAIN Parepare)

OPINI—- Ada peristiwa agung yang pernah dialami oleh Baginda Nabi Muhammad saw. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-11 setelah beliau dilantik menjadi Rasul (ba’d al-bi’tsati). Peristiwa itu dikenal dengan isrâ’ Nabi dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina, dan mi’râj beliau ke sidratil muntahâ. Beragam kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada Nabi. Karena itu, dalam memahami peristiwa Isra’ Mi’raj ini, pendekatan îmânî (rasa atau keyakinan)-lah yang sejatinya digunakan, bukan pendekatan aqlî (nalar).

Peristiwa yang dialami Nabi bukan mimpi. Mengapa? Andaikata mimpi (hanya ruh, tanpa jasad), dalam pandangan Mutawallî Sya’râwî, tentu peristiwa tersebut tidak menimbulkan kegaduhan dan perdebatan. Kalau saya berkata: “Tadi malam sesudah shalat isya saya berjalan kaki dari Parepare ke Makassar, misalnya, dan kembali dengan berjalan kaki serta tiba di Parepare sebelum shalat subuh”, maka pernyataan itu tidak akan disoalkan, kalau saya mengatakan: “Hanya dalam mimpi”. Itu sebabnya, Allah mengawali ayat tentang berita isrâ’-nya Nabi dengan kata “subhâna” (Mahasuci) Allah yang jauh dari kekurangan.

Bagaimana mungkin, menurut hitungan akal, jarak antara Mekah dan Palestina apabila menggunakan fasilitas kendaraan unta dapat ditempuh sebulan lamanya. Sementara Nabi hanya membutuhkan waktu laylan (semalam, tidak cukup satu malam). Mengapa bukan di siang hari? Karena laylan merupakan waktu termulia (afdhal al-awqât), kondisi teragung (asyraf al-hâlât), dan waktu terhormat untuk mengekspresikan cinta seorang hamba kepada Allah (a’azz al-munâjât). Bahkan Nabi dalam perjalanannya didampingi malaikat Jibril yang tercipta dari cahaya dan kecepatan cahaya 300.000 km/detik. Sementara kecepatan malaikat 2.816.358 kali kecepatan cahaya atau hampir 10 juta km/detik. Subhânallâh…!!!

Membincang peristiwa isrâ’ mi’râj tentu tidak bisa lepas dari membincang mengenai shalat lima waktu. Saat mi’râj, Nabi menyaksikan cara beribadah para malaikat. Nabi melihat ada sekelompok malaikat yang ibadahnya hanya berdiri. Ketika mengalihkan pandangannya ke tempat lain, Nabi menyaksikan jamaah malaikat beribadah dengan cara rukuk. Di kesempatan lain, nabi memperhatikan kumpulan malaikat beribadah dalam keadaan sujud. Model ibadah para malaikat yang disaksikan Nabi merupakan perwujudan ketaatan para malaikat kepada Allah dalam bentuk memuji kebesaran dan keagungan Allah.

Cara ibadah malaikat yang beragam itulah yang membuat hati Nabi membatin untukmenjadikan ibadah para malaikat sebagai kado spesial buat umatnya. Lalu Allah menghimpun seluruh ibadah malaikat dalam shalat lima waktu. Bahkan dalam satu rakaat saja shalat, pelaku shalat telah menggabungkan seluruh ibadah malaikat yang jumlahnya hanya Allah yang mengetahuinya saking banyaknya. Karena itu, Nabi saw. mengingatkan orangtua agar menanamkan dan membiasakan anak untuk melaksanakan shalat pada usia dini. Nabi saw. bersabda:

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ اَبْنَاءُ سَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَبْنَاءُ عَشْرٍ

Artinya:

“Suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat lima waktu pada usia tujuh tahun, dan pukullah (kalau mereka berani meninggalkan) shalat pada usia sepuluh tahun”.

Tantangan berat bagi orangtua di era globalisasi saat ini adalah akibat negatif dan buruk yang ditimbulkannya, walaupun di satu sisi tidak dapat dinafikan bahwa ia membawa banyak hal positif dan manfaat. Akibat pengaruh negatif dan buruk globalisasi, moral sebagian anak-anak kita rusak. Padahal sejatinya, inti globalisasi adalah persaingan, dan hakikat persaingan adalah mutu. Namun sayangnya, mutu yang dipahami hanya sebatas sisi kecerdasan intelektual anak. Orientasi pendidikan, dalam kenyataannya lebih berfokus pada pendidikan otak, melupakan pendidikan watak.

Kerapkali orangtua lengah bahkan membiarkan ketika anak-anaknya sudah berani meninggalkan shalat. Anak lebih takut kalau tidak menyelesaikan PR dari gurunya daripada melaksanakan perintah shalat dari orangtuanya. Padalah Allah berfirman dalam QS. Thâhâ [20]:132 sebagaimana cuplikan ayat:


Terjemahnya:

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan bersungguh-sungguhlah bersabar atasnya…”

Ada kebiasaan kurang bagus dari orangtua yang lebih senang bertanya kepada anaknya mengenai berapa nilai pelajaran yang diperoleh anak ketimbang bertanya mengenai apakah anaknya sudah shalat atau belum. Kebiasaan mengajukan pertanyaan semacam ini sebenarnya tidak keliru, tetapi mestinya pertanyaan itu belum titik (.), tetapi baru koma (,). Semestinya pertanyaan dilanjutkan misalnya: “Nak, nilai kamu sepuluh, apakah nilai itu hasil nyontek atau tidak Nak”?!. Orangtua, se-’parepare’-nya (baca: seyogianya), senantiasa dalam kekhawatiran akan anak meninggalkan atau melalaikan shalat dan menganggap biasa ketika melanggar aturan agama.

Shalat, sejatinya berpengaruh dalam pembentukan karakter manusia untuk menjalani kehidupannya. Pengaruh yang dimaksud antara lain: (1) shalat menumbuhkan sikap tawâdhu’ (rendah hati); dan (2) shalat mendidik manusia untuk bersikap jujur. Anggota badan yang paling terhormat adalah kepala. Di hadapan Allah saat shalat menjadi sama rendahnya dengan telapak kaki. Tidak ada yang dapat dibanggakan, karena semua adalah anugerah dan titipan Allah. Kesadaran inilah yang menjadi pondasi sikap tawâdhu’ dimaksud yang akan menyelamatkan manusia dari lupa diri, lupa daratan dan lupa lautan. Orang yang tawâdhu’ memiliki kesadaran akan posisinya di hadapan Allah.

Kekuasaan dan kekayaan tanpa sikap tawâdhu’ akan melahirkan Fir’aun gaya baru dan Qârûn abad millenial. Apabila kekuasaan berada di tangan orang yang tidak tawâdhu’, maka yang terjadi adalah keangkuhan birokrasi, merasa diri benar dan demokrasi mati suri. Kekayaan yang tidak berpijak pada sikap tawâdhu’, akan memunculkan Qarun abad millenial. Orang kaya yang tidak dididik rendah hati dengan shalat, dia akan menganggap semua yang dimiliki adalah hasil keringatnya sendiri. Dia tidak sadar bahwa harta hanya titipan yang mesti disyukuri dalam bentuk membelanjakannya di jalan Allah karena kelak pasti dimintai pertanggungan jawab di hadapan Allah. Terlihat betapa shalat membentuk pribadi yang tawâdhu’ (rendah hati).

Pengaruh lain shalat adalah mendidik manusia untuk bersikap jujur. Seseorang yang shalat sendirian di kamar, misalnya, tidak pernah terbetik dalam hati untuk mengurangi jumlah rakaat shalat. Tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk menukar-nukar bacaan shalat dalam setiap gerakan. Ketika kejujuran ini menyasar pedagang-konglomerat, menelisik praktisi-profesional, menyapa pejabat-politisi, dan menyentuh akademisi-cendekiawan, maka paling tidak, akan mengurangi (untuk tidak mengatakan menghilangkan) kecurangan, manipulasi, kongkalikong, dan ‘pelacuran’ intelektual.

Bahkan lebih daripada itu, dalam perspektif tasawuf, shalat merupakan keridhaan Allah (mardhâtullâh), hobbi atau kecintaan para malaikat (hubb al-malâikah), pola hidup para nabi (sunnah al-anbiyâ’), cahaya pengenalan (nûr al-ma’rifah), dan pondasi keimanan (ashl al-îmân). Begitu istimewanya shalat, Nabi menerima perintah shalat secara langsung di hadapan Allah pada peristiwa mikraj di sidrah al-muntahâ. Khusus untuk yang disebutkan pertama (keridhaan Allah/mardhâtullâh), ia merupakan tujuan akhir segala keinginan dan muara segala harapan serta puncak segala kenikmatan dan kelezatan. Mengapa? Karena keridhaan Allah itu lebih besar daripada surga sekalipun (wa ridhwân min Allâh akbaru).

Akhirnya, melalui peringatan isra’ mi’raj yang dilaksanakan setiap tahunnya diharapkan tidak hanya menjadi kegiatan seremonial belaka yang kering dan hampa makna. Sejatinya, setiap memperingatinya, umat Islam akan menemukan hikmah dan mengambil pelajaran berharga di balik peristiwa agung itu untuk menata kehidupan sosial di masyarakat karena ia sukses menapaki tangga shalat dan sekaligus ia berhasil menjalin komunikasi spiritual dengan sang Khâliq (pencipta) melalui medium shalat yang merupakan sabda langit dan kado spesial pada penghujung Rajab dari Allah kepada Rasulullah saw. dan tentu juga kepada umatnya di persada bumi agar ia mampu masuk dalam pusaran ridhâ-Nya.[]

di dalam Opini
Ade Musytahun Wahid 4 Maret 2020
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip