Kematian akibat pandemi bukan semata akibat paparan virus, melainkan paparan kondisi dampak turunan hadirnya virus yang spontan mengubah wajah dunia. Rentetan kesulitan membelit semua kalangan, termasuk kalangan pelajar dan mahasiswa melalui belajar dalam jaringan (daring).
Salah satu yang membuat emosi kesedihan kita berkecamuk adalah informasi viral di media sosial tentang tewasnya seorang mahasiswa
Unhas asal Sinjai bernama Rudi Salam akibat terjatuh dari menara masjid saat berburu jaringan internet mengerjakan tugas kuliah pada hari Jumat (8/5/2020).
Jaringan internet kini menjadi menu penting selama pandemi. Sistem komunikasi digital dalam segala dimensi mensyaratkan sebuah model kehidupan yang tak bisa hidup sejahtera tanpa jaringan internet. Lalulintas materi-materi perkuliahan ditransformasi melalui medium digital yang harus ditopang jaringan internet yang memadai. Tak ada jaringan tak bisa kuliah.
Seliweran keluhan sulitnya kuliah daring selama pandemi pun tertuang dalam deretan beranda ungkapan kesulitan mahasiswa melalui media sosial maupun liputan berita televisi. Mulai dari sulitnya membeli kuota sampai pada sulitnya jaringan internet di pelosok-pelosok negeri, sehingga kuliah daring diawal sempat menggembirakan karena bisa sambil rebahan, namun realitasnya tak seindah angan.
Bahkan banyak drama para mahasiswa pemburu jaringan memilukan, mulai dari memanjat pohon, menempuh perjalanan jauh ke pegunungan, kehujanan demi berburu jaringan, bahkan yang dialami salah satu mahasiswa di Kabupaten Sinjai berujung kematian akibat memanjat tiang saat kuliah daring.
Internet sebagai menu yang sangat dibutuhkan ternyata belum tersedia secara merata. Kesenjangan digital atau digital divide menjadi salah satu faktor penghambat pendidikan selama pandemi. Ketimpangan akses teknologi informasi dan komunikasi kian terasa setelah gelombang virus tiba-tiba menghentikan interaksi ruang kelas nyata beralih ruang maya (cyberspace). Masih terdapat penduduk yang mengalami deprivasi akses infrasturuktur teknologi informasi dan komunikasi. Terdapat lokasi yang mengalami blank spot, tidak dapat mengakses internet terutama yang bermukim pada daerah pedesaan. Kelompok tersebut rentan defisit informasi karena tidak memeroleh kesempatan sama terhadap akses informasi selama pandemi.
Pengemuka teori digital divide Pradip Thomas adalah suatu keadaan kesenjangan digital akibat terbatasnya infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK), kemampuan pemanfaatan, dan literasi. Infrastruktur TIK tetap sebagai faktor utama yang pada akhirnya melahirkan kesenjangan akses dan pemanfaatan antara individu, rumah tangga, bisnis, kelompok masyarakat tertentu kelompok masyarakat yang bermukim pada area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda. Kesenjangan digital sebenarnya akan melahirkan bentuk kesenjangan yang baru dalam semua dimensi, demikian pula dengan pendidikan.
Mengapa kesenjangan tersebut harus mendera dan kian menyengsarakan di tengah kondisi krisis global akibat serangan pandemi. Saat raga terkurung sementara kebutuhan informasi kian meningkat untuk mendapatkan literasi menyiasati kondisi secara cerdas. Masyarakat diperhadapkan pada defisit ganda. Defisit ekonomi yang diperparah defisit informasi pada saat masyarakat berada pada kebutuhan yang tinggi terhadap sistem layanan cepat berbasis digital (yang tak bisa dipisahkan dari internet) seperti, e-education, e-government, e-healt, dan sebagainya.
Padahal sang pencipta istilah media Marshal McLuhan sebenarnya telah meramalkan kondisi sejak tahun 1950-an dalam buku Electronic Revolution: Electronic Effect of New Media. Asumsinya bahwa, salah satu efek revolusi media adalah dunia pendidikan akan menempati ruang tanpa tembok. Ditulis pula oleh Bruce Owens dalam buku the Internet Challenge to Television dengan ungkapannya bahwa melalui digitalisasi, internet akan menjadi segalanya.
Hasil Studi Pengukuran Digital Divide di Indonesia oleh Sri Ariyanti (Puslitbang Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika tahun 2013), memaparkan infografis kesenjangan digital di Indonesia dengan populasi penelitian ini adalah 33 provinsi menggunakan teknik analisis kuantitatif deskriptif dengan mengadopsi pada perhitungan indeks infostate digital divide dari penelitian George Sciada.
Hasilnya adalah nilai indeks digital divide di provinsi di Indonesia paling besar dimiliki oleh provinsi yang berada pada bagian Timur dan tengah. Penyebabnya adalah rendahnya pembangunan infrastruktur TIK terutama infrastruktur wireless yaitu Base Transceiver Station (BTS) 2G, BTS 3G atau node B dan BTS Fixed Wireless Access (FWA). Selain itu kemampuan/skill penduduk di provinsi tersebut sangat rendah sehingga tingkat penggunaan TIK-nya sangat rendah dibanding dengan provinsi lainnya. Kesenjangan paling rendah hanya ada pada provinsi di DKI Jakarta dan Jogyakarta.
Solusi Kesenjangan Digital
Kesenjangan digital harus direspon dalam bentuk kesigapan dalam menghadirkan solusi pada tingkat pemerintah baik pusat maupun daerah. Kebijakan pemerintah harus hadir menjembatani kesenjangan yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Jika tidak, maka akan muncul masyarakat marginal baru sebab kebutuhan digital sekarang ini sudah sangat urgen dalam menopang kehidupan khususnya dalam bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.
Menurunkan angka deprivasi digital warga negara juga menjadi salah satu implementasi UUD 1945 untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sebab telah memberikan jaminan bagi masyarakat di manapun untuk terintegrasi dengan pengetahuan global. Mahasiswa dimanapun membutuhkan bacaan jurnal bereputasi dalam e-Journal, e-book, mengakses repository, mengirimkan tugas-tugas perkuliahan, ikut kelas meeting virtual, serta seminar-seminar virtual.
Mengapa komitmen pemerintah yang tinggi dalam mewujudkan akses yang sama bagi warga masyarakat terhadap TIK, contohnya Pemerintah
Kota Parepare yang telah berkomitmen pada pembangunan tanpa kesenjangan digital melalui program smart city mengikuti langkah beberapa kota smart di Indonesia.
Langkah awalnya dengan penyusunan rencana Induk Teknologi Informasi dan Komunikasi (RITIK) tahun 2016 yang menjadi roadmap pembangunan TIK. Pemkot Parepare juga menggelontorkan anggaran senilai
Rp2 Miliar untuk layanan internet gratis warga yang terpasang pada space public (kantor, lapangan, masjid, taman), yang dapat diakses masyarakat secara gratis dan tanpa password, telah terbukti dapat memudahkan pelajar dan mahasiswa.
Langkah seperti ini meski diikuti oleh pemerintah pada sejumlah daerah, yang tentu saja roadmap sesuai kondisi daerah masing-masing dengan
tetap menjalin kemitraan dengan stakeholder, serta pelibatan konsultasi warga lokal agar digitalisasi menjadi solusi yang disadari manfaatnya secara bersama-sama.
Selanjutnya, peningkatan kompetensi digital pada semua lapisan masyarakat, khususnya pada masyarakat rural. Literasi pengoperasian internet atau peningkatan kompetensi digital masyarakat pedesaan baik dalam akses berbagai informasi pendidikan dan pelatihan, belajar keterampilan baru agar dapat megeksplorasi potensi lokal memasuki pasar Global. Salah satu contohnya adalah proyek virtual Afrika Utara untuk memberdayakan perajin desa untuk berhubungan dengan pasar Internasional.
Langkah ini dilakukan, sebagai upaya menghadirkan infrastruktur TIK yang dapat meningkatkan perubahan sosial dan ekonomi yang positif. Solusi lainnya berupa menyiapkan layanan berupa kios ICTs dan gerakan komputerisasi desa terkoneksi jaringan. Penyediaan atau pengembangan software berbahasa tertentu (lokal) agar instruksi atau bahasa program dapat dipahami oleh masyarakat penggunanya. Dengan demikian, masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah tetap dapat memiliki akses informasi, khususnya dalam kondisi terkini bahwa hadirnya fasilitas komputer desa terkoneksi jaringan akan memfasilitasi kemudahaan bagi warga desa (pelajar dan mahasiswa) untuk mengakses kelas-kelas daring.
Pemerintah harus hadir menjembatani kesenjangan digital. Mengapa?, karena membangun TIK membutuhkan biaya besar, kerjasama lintas sektoral, serta rumusan kebijakan dan roadmap pembangunan berkelanjutan. Negara dalam mewujudkan keadilan sosial termasuk keadilan akses digital melalui program pembangunan antisipasi kesenjangan digital dalam masyarakat. Gerak cepat meski diupayakan, sebab kesenjangan digital akan melahirkan kesenjangan dalam aspek lain, termasuk kesenjangan bidang pendidikan, apalagi dalam situasi krisis seperti sekarang ini.
Meskipun krisis berlalu, kebutuhan media digital telah melekat pada kehidupan dan menjadi kebutuhan masyarakat untuk bisa hidup lebih baik di Era Modern sekarang ini. Mengapa?. Meminjam istilah McLuhan bahwa orang-orang telah menempati ‘Dusun Global (Global Village)‘. Mahasiswa dimanapun berhak atas pendidikan berkualitas, memperoleh ilmu pengetahuan, ragam informasi pembelajaran, dan pelatihan, serta terlibat dalam interaksi kelas virtual. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan digital tak dapat ditawar-tawar lagi, dan difisit informasi yang melanda sebagian pelajar saat ini meski diantisipasi. Apalagi saat bumi belum pulih dari pandemi, defisit informasi tak boleh melanda generasi. (*)
Penulis: Nurhakki, Dosen KPI dan Anggota Dewan TIK Kota Parepare.