Skip to Content

OPINI: Memahami Implikasi Alih Jabatan Administrasi ke Fungsional

January 21, 2022 by
Hayana

OPINI: Memahami Implikasi Alih Jabatan Administrasi ke Fungsional

Penulis: Suherman

(JFT Pranata Humas Muda)

OPINI— “Semua perubahan besar diawali dengan kekacauan” begitu kata penulis India, Deepak Chopra. Meski tidak tepat disebut kekacauan, kebijakan peralihan jabatan administrasi ke fungsional menimbulkan banyak implikasi pada tingkat implementasi teknis dan kesiapan SDM. Terkhusus, bagi pejabat yang menjalani peralihan jabatan.

Menurut Thabib alAsyhar dalam opininya di kemenag.go.id (2020), peralihan jabatan administrasi berdampak psikologis bagi PNS yang mengalaminya. Logika perubahan, pasti menimbulkan hal-hal baru dan berlawanan dengan kemapanan. Banyak orang yang tidak mau berubah dan menghadapi perubahan (status quo). Khususnya bagi mereka yang merasa berada di zona nyaman.

Selama ini, jabatan administrasi dinilai banyak orang berada pada zona nyaman. Baik dari sisi pekerjaan, sosial mau pun kesejahteraan. Seorang pejabat adalah atasan (pimpinan) bagi anak buahnya (staf). Mereka bertanggung jawab atas pekerjaan stafnya. Pekerjaan staf adalah kinerja dan performance nya. Tapi, banyak atasan yang nyaman dengan sistem instruksional. “Apa-apa perintah staf”.

Status sosial pejabat juga meninggi. Setelah dilantik, banyak masyarakat atau keluarganya menaruh hormat. Sebelum menjabat, biasa saja. Setelah menjabat, diperlakukan istimewa, semulia-mulianya. Karenanya, banyak pejabat merasa nyaman. Bahkan ada yang merasa pongah. Kepala dan lehernya meninggi. Akhirnya bangga, sombong dan berubah angkuh.

Dari sisi kesejahteraan, seorang pejabat jelas lebih tinggi salary nya dibanding stafnya. Bahkan, jabatan tertentu akan memperoleh insentif tambahan dan tunjangan. Ada yang memperoleh fasilitas yang memadai. Mulai dari ruangan kerja berfasilitas lengkap. Sampai kepada fasilitas kebutuhan lainnya. Seperti mobil dinas dan rumah dinas. Sungguh, jabatan memberi kenyamanan.

Bagi mereka yang sudah merasakan zona nyaman ini. Tentu saja merasa berat meninggalkannya. Inilah yang dialami sebagian pejabat administrasi yang dialihkan. Mereka khawatir, kenyamanan dan prestise tidak lagi diperolehnya. Begitu pun dengan sistem kerja instruksional yang selama ini melekat bagi pejabat administrasi. Berubah 180 derajat dengan model kerja fungsional. Lebih individual. Perasaan itulah yang harus dipahami dan jangan disepelekan.

Selain dampak psikologis tersebut, kebijakan peralihan jabatan administrasi ke fungsional juga berimplikasi pada sistem kerja dan kinerja organisasi. Jabatan fungsional mengisyaratkan pelaksanaan tugas berdasarkan keahlian dan atau keterampilan. Mereka pejabat fungsional harus memiliki keahlian dan atau keterampilan (kompetensi) terkait dengan penugasannya.

Tanpa kompetensi tersebut, seorang pejabat fungsional dipastikan tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Misalnya, JFT Pranata Humas, jika tidak memiliki keahlian atau keterampilan dalam bidang kehumasan. Maka dipastikan tidak akan mampu melaksanakan pekerjaannya secara fungsional.

Implikasi ini muncul sebagai dampak dari kebijakan teknis pelaksanaan peralihan jabatan itu sendiri. Dalam praktiknya, peralihan jabatan hanya didasarkan pada nomenklatur unit kerja saja. Tapi, mengabaikan kompetensi personal yang ada. Bahkan, satker tidak diberikan ruang memetakan kompetensi dan penempatan dalam peralihan tersebut.

Akibatnya, banyak pejabat fungsional baru tidak mengenal dan bingung apa yang harus mereka kerjakan. Bahkan sebagian dari mereka merasa tidak memiliki pengetahuan apa lagi keahlian atau keterampilan yang berkaitan dengan jabatan baru tersebut. Sebagiannya lagi, merasa lebih cocok berkarir pada jabatan administrasi.

Selain itu, implikasi dari banyaknya pejabat fungsional akan berdampak pada sistem koordinasi dan konsolidasi organisasi. Karakter jabatan fungsional yang lebih mengedepankan profesionalisme, fokus pekerjaan, dan mandiri membuat mereka lebih individualistik. Mereka tidak peduli lingkungan kerja dan akhirnya rentang kendali pegawai akan sulit dan menjadi masalah bagi lembaga.

Implikasi lain dari peralihan jabatan adalah munculnya disparitas kesejahteraan (tunjangan) jabatan fungsional yang cukup jauh. Grade tunjangan pada setiap lembaga juga berbeda. Menurut sebagian orang, tunjangan pada Kementerian Keuangan jauh lebih tinggi karena beban kerja mereka tinggi dan juga berisiko.

Mungkin karena itu, tunjangan fungsional seorang humas, guru, atau dosen tidak perlu sama dengan mereka. Karena beban kerja mereka tidak tinggi dan tidak beresiko. Kerja humas bisa santai-santai saja, kata mereka. Boleh jadi, karena persepsi seperti inilah muncul istilah ada tempat basah dalam struktur organisasi birokrasi kita.

Rupanya, implikasi peralihan jabatan ini mulai dirasakan (sudah diprediksi) Kementerian Menpan RB. Setelah dua tahun gelombang peralihan berjalan, Menpan RB mengeluarkan moratorium (pemberhentian sementara) peralihan ke jabatan fungsional baru melalui surat nomor B-639/M.SM.02.00/2021 tertanggal 3 November 2021.

Dalam konsideran surat tersebut, Menpan RB menyebutkan perlunya transformasi fungsional yang mendukung mekanisme kerja organisasi pasca penyerderhanaan birokrasi. Untuk itu, Kemenpan RB sedang merancang sistem kerja jabatan fungsional dan standardisasinya.

Tapi menurut penulis, selain membangun sistem kerjanya. Implikasi adanya peralihan jabatan ke fungsional yang diuraikan di atas perlu dipahami rasanya dan menjadi perhatian serius. Meski kelihatannya masalah mikro, tetapi akan menjadi bumerang jika diabaikan begitu saja. Transformasi birokrasi ini mesti komprehensif. Konsepsi harus seiring dengan praktisnya. Wallahu a’lam bishawab.

Opini ini telah dipublikasi blog kompasiana


Hayana January 21, 2022
BAGIKAN POSTINGAN ini
Tags
Archive