OPINI: Perempuan dalam Islam
Penulis: Wirani Aisiyah Anwar (Dosen IAIN Parepare)
OPINI— Wanita kerapkali diperlakukan dengan cara tidak wajar, sebab mereka tidak mengenali kadar kesucian dirinya dan kerap kali kita dapatkan mereka terpaksa menerima pelecehan. Ini terjalin pada masa lalu. Benarlah pernyataan yang meyebutkan: “Hingga dirahmati Allah, siapa yang mengenali kandungan dirinya.”
Pada era Yunani Kuno, kala hidup filosof-filosof ternama semacam Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM), serta Demosthenes (384-322SM), derajat wanita dalam pemikiran mereka sangat rendah. Wanita cuma ditatap selaku perlengkapan penerus keturunan serta seorang pembantu rumah tangga dan pelepas hasrat nasfsu pria semata alhasil perzinaan amat merajalela.
Socrates (470-399SM) beranggapan kalau ada teman yang loyal, wajib dan sanggup meminjamkan istrinya kepada teman-temannya, sebaliknya Demosthenes beranggapan kalau istri cuma berperan melahirkan anak, Aristoteles menyangka wanita cocok dengan hamba sahaya, kemudian Plato memperhitungkan martabat pria pada kemampuannya menyuruh serta “martabat” wanita baginya terdapat pada kemampuannya melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang simpel atau hina sembari diam tanpa komunikasi.
Dalam pandangan sejarah, tergambarkan wanita ternilai sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu, kondisi wanita tidak lebih baik, mereka dalam paham manu disebutkan bahwa: “wabah penyakit, kematian, racun, ular, dan api kesemuanya lebih baik dari pada perempuan”.
Isteri wajib berbakti pada suaminya bagaikan berbakti pada Tuhan. Istri wajib berada di belakang suaminya dalam hal apapun, mereka tidak bisa berdialog serta tidak pula makan bersamanya, tetapi mereka hanya makan dari sisa suaminya. Hingga sampai abad 17, seseorang istri wajib terbakar hidup-hidup, dikala suaminya terbakar, ataupun jika mereka ingin hidup, mereka diwajibkan mencukur rambutnya serta memperparah wajahnya menjadi buruk rupa, agar mereka tidak lagi disukai pria lain.
Wanita saat sebelum Islam datang, mereka tidak mempunyai andil apapun. Dirampas haknya, diperjual-belikan semacam budak, serta mereka dapat diwariskan layaknya benda dan tidak punya hak untuk mendapat warisan. Apalagi sebagian bangsa melaksanakan perihal tersebut, dan menganngap bahwa wanita tidak mempunyai ruh, akan lenyap dengan kematiannya serta tidak taat terhadap syariat, berlainan dengan pria. Dalam kitab-kitab fikih yang ditulis pada era klasik serta pertengahan, peran wanita pada biasanya diperlihatkan sebagai inferior (bermutu rendah) terhadap pria.
Di daerah Arab zaman jahiliyah, kodrat wanita lebih hina dari pada apa yang sudah dituturkan sebelumnya, hak- haknya dirampas, kemuliaannya dinodai, serta masyarakat tidak menghormati mereka selayaknya manusia. Kerapkali terjadi apabila orang Arab melahirkan anak perempuan merasa sakit batin dan menjadi aib keluarga, apalagi terdapat yang sampai hati membunuh anak perempuan darah daginya sendiri, buah hatinya sendiri. Dikisahkan dalam QS. An-Nahl/16: 58-59:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
Peran di kalangan wanita saat sebelum masa Islam datang sangat memprihatinkan. Sebagai gambaran, di Jazirah Arab saat sebelum Islam tiba, kondisi kalangan wanita amatlah buruk. Wanita cuma dihormati bila orang tuanya menjadi raja ataupun pimpinan kabilah atau ia jagoan dan ditakuti masyarakat Arab. Wanita serupa dengan benda, hingga muncullah sebutan budak bagi mereka. Seseorang wanita yang dijadikan budak yang leluasa untuk dijual pada siapa saja yang menginginkannya. Ataupun beliau jadi wanita penghibur dengan mendendangkan lagu-lagu diiringi gaya tari yang membuat pria tergoda. Sehingga sering wanita dijadikan sebagai selir oleh raja-raja hanya untuk memuaskan hasrat mereka. Dan juga tidak ada batasan jumlah istri-istri yang dapat dimiliki oleh pria lantaran mereka dipandang sebelah mata.
Pengakuan Umar bin Khattab ra., sebelum dirinya memeluk Islam yang menyatakan bahwa beliau mengubur hidup-hidup anak perempuannya demi menjaga rasa malu keluarga dari tradisi yang menganggap anak perempuan sebagai aib dalam keluarga. Hal tersebut sebagai bukti sejarah bahwa pada masa lalu kaum perempuan dimarginalkan dari kehidupan sosial.
Sikap laki-laki Arab di zaman jahiliyah kepada anak wanita yang lahir di keluarganya merupakan semacam aib/kehinaan bagi mereka, mereka merasa malu serta marah bila mereka sedang berbincang dengan sahabat-sahabatnya kemudian datang memberitakan bahwa istrinya melahirkan anak perempuan. Mereka jengkel, kesal serta marah hingga wajahnya menjadi merah lantaran amarah yang meledak-ledak meskipun di hadapan banyak orang. Dan akhirnya mereka berpikir singkat untuk mengubur bayi perempuannya hidup-hidup lantaran mereka menganggap anak perempuan hanya akan menjadi beban dan aib bagi keluarga.
Di zaman sekarang, dapat disaksikan dalam berbagai iklan atau penjualan (media), perempuan seringkali dieksploitasi bahkan tidak jarang diperjual belikan. Setelah Islam datang, maka manusia mulai menyadari betapa pentingnya peran dan fungsi seorang perempuan dalam mengubah dunia ini. Tanpa perempuan, dunia ini hampa bahkan hancur. Perempuan diibaratkan Allah dalam Alquran sebagai pakaian bagi suaminya, selain sebagai pakaian antara satu dengan yang lain lelaki dan perempuan diciptakan sebagai pelindung (penolong) bagi sebagian yang lain.
Salah satu hikmahnya adalah bahwa perempuan menjadi salah satu faktor utama mulianya seorang suami begitu juga sebaliknya. Yang menjadi persoalan adalah sebagian besar perempuan tidak menyadari tugas dan tanggungjawabnya (peran dan fungsinya) kaitannya membangun keluarga, bangsa, dan negara. Tentunya hal semacam ini menjadi sangat urgen untuk dibahas dan diteliti. Nabi telah mencontohkan bagaimana kepemimpinan seorang perempuan khususnya dalam rumah tangga sehingga tercapai keluarga yang damai dan masyarakat yang maju. Melalui banyak hadis telah dijelaskan mulai hal terkecil tentang peran dan fungsi perempuan dalam rumah tangga sampai hal terbesar.
Dari pandangan lain, banyak dari perempuan lebih memilih karir di luar rumah daripada karir di dalam rumah, sehingga tanggungjawab membina generasi menjadi tidak maksimal. Akhirnya keluarga kehilangan ratunya dan krisis perhatian dan kasih sayang terjadi dalam keluarga. Resiko bagi perempuan dalam menjalani karir di luar rumah tidak dapat dianggap remeh, seperti yang terjadi di India. Seorang Perempuan yang awalnya mencari pekerjaan pada tetangganya.
Namun yang informasi yang didapatkannya untuk bekerja di hotel. Ketika perempuan tersebut sampai di hotel yang terjadi adalah pelecehan seksual atau pemerkosaan yang didapatkan. Diduga perempuan tersebut diperkosa sebanyak sebelas pria. Banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi sehingga perlu bagi Perempuan mengetahui batas-batas sejauh mana kerja atau tanggungjawab yang dibebankan padanya.
Oleh karena itu, Islam dengan tegas membagi tugas dan tanggungjawab antara lelaki dan perempuan terutama dalam mengurus keluarga (rumah tangga). Terdapat hadis Nabi pula yang mengatakan bahwa “tidak tidak akan sukses suatu kaum jika mereka dipimpin oleh seorang wanita”.
Di sisi lain banyak juga wanita karir yang berhasil dalam karir maupun rumahtangga. Hal ini didasarkan kesadaran penuh bahwa tugas utama seorang perempuan ketika telah berumahtangga adalah keluarga. Tentu harus seijin suami dan bagi single parent maka sangat dianjurkan demi kehidupan anak-anaknya. Anak-anak inilah nantinya yang akan menjadi penerus gerasi yang akan membuat dunia lebih berwarna tentunya warna cerah secerah masa depan yang diharapkan.