Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama FUAD IAIN Parepare)
OPINI— Fenomena unik yang tengah terjadi pada abad Milenium saat ini adalah tren di kalangan selebritis mengadopsi boneka arwah (spirit doll). Konon, mereka memperlakukan boneka tersebut layaknya seperti anak manusia dalam sebuah keluarga. Hal ini yang membawa perdebatan tersendiri sebab tindakan tersebut seolah menciderai sakralitas lembaga keluarga, salah satu lembaga penting dan mendasar dalam masyarakat.
Problem esensial di balik yang dipersoalkan banyak kalangan terutama tokoh agama dan akademisi adalah sebuah situasi dan perilaku justru dilakukan oleh para publik figur. Ya, apa yang dipertontonkan oleh pesohor tanah air tersebut tidak dapat dipisahkan dari perbincangan umum yang bisa jadi membawa implikasi tersendiri bagi terjadinya perubahan pola perilaku masyarakat dalam memandang deviasi institusional keluarga.
Secara sosiologis, keluarga berfungsi sebagai wahana bagi pengaturan dan pengorganisasian penempatan anak dalam masyarakat. Implikasi fungsi ini adalah tujuan sebuah keluarga dipahami sebagai sarana membangun kesinambungan generasi. Namun, apa yang dilukiskan dalam “spirit doll” tersebut secara tidak langsung berakibat terhadap wibawa keluarga yang mulai rapuh. Karena itu, perilaku ini menjadi paradoksal lantaran fenomena ini tidak lazim dilakukan di kehidupan masyarakat.
Dilema Manusia Rasional
Terlepas boneka tersebut yang konon diisi dengan roh, harus diakui bahwa apa yang menjadi pemberitaan di ruang publik berkaitan dengan maraknya para artis memiliki boneka arwah, tidak dapat diterima dengan akal sehat. Terlebih mereka memperlakukan boneka-boneka itu layaknya seperti seorang manusia. Pada titik tertentu makna yang terkuak di masyarakat ialah perilaku ini merupakan sesuatu yang tidak memiliki substansi. Obsesi berlebihan di kalangan selebritis itu, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang irasional.
Realitas sosial tersebut dapat dinilai tidak berdasar logika, yang ada di dalam konteks realitas sesungguhnya. Tatkala mereka memutuskan untuk tetap merawat benda yang tak bernyawa itu, hal ini justru menimbulkan tantangan serius terhadap prinsip rasionalitas yang membentuk masyarakat modern. Bahwa mengkaji masyarakat modern berarti juga meyinggung tentang alam pikiran masyarakatnya. Apatalagi dalam kerangka modern, patokan tentang hal-hal yang dianggap ideal dan benar sekurang-kurangnya bila masuk akal.
Yang menjadi soal adalah bahwa ketika spirit doll dalam masyarakat semakin digandrungi, perilaku sosial orang-orang justru semakin tampak menjadi kontradiksi sebab aspek rasionalitas dalam kehidupan hingga tatanan nilai sebuah keluarga mulai dikesampingkan. Akibat dari situasi itu adalah, masyarakat saat ini seolah terjebak pada situasi yang disebut Piliang sebagai Skizofrenia, yakni kekacauan dalam struktur psikis berupa teralienasinya dan tercabutnya seseorang dari realitas karena kekacauan makna (Piliang, 2004).
Pada tataran orientasi nilai, situasi kerancuan menjadi lebih parah bila kita lihat dari kerangka paradigma sosiolog Pitirim Sorokin yang disebutnya sebagai orientasi “sensate”. Perwujudan dari sensate ini ialah para pemuja boneka arwah ini telah terpesona pada ilusi fantastik dan tergoda untuk menyelami tendensi patologis (Sugiharto, 2019). Betapa tidak, fungsi institusi rumah tangga tradisional seolah dikaburkan dengan pemutarbalikan relasi tanda-tanda feminisitas hingga rasionalitas dengan memelihara benda-benda tak bernyawa itu. Tak heran bila lantas banyak pihak melihatnya sebagai kerancuan orientasi nilai.
Fantasi Berlebihan dan Cermin Buram Sakralitas Keluarga
Bagi para penikmat boneka arwah, barang kali mereka mendapati kebahagiaan tersendiri yang menggairahkan. Karenanya, ia merawat selayaknya seorang bayi yang hidup. Konon, ia bahkan rela menyewa jasa baby sister dengan bayaran yang cukup mahal dengan alasan boneka-boneka itu harus diperlakukan selayaknya bayi yang setiap harinya harus dirawat dengan telaten.
Realitas baru yang tengah membuncah ini menurut hemat penulis merupakan sebuah fantasi berlebihan. Betapa tidak, secara logika ia tidak sepenuhnya akan mampu memperlakukan boneka arwah ini seperti manusia yang berkebutuhan khusus. Sebut saja kebutuhan akan kasih sayang (social needs) maupun kebutuhan fisiologi (physiological needs), yakni makan dan minum. Untuk itu, realitas sosial ini merupakan perwujudan fantasi belaka.
Fantasi ini pada akhirnya semakin menjauhkannya dari irama kehidupan nyata, bahwa mereka seolah terjerembab dalam ilusi belaka yang mengaburkan. Tampaknya fenomena ini mencapai titik balik yang memprihatinkan sakralitas keluarga terutama aspek fungsi keluarga yang berelasi dengan agama. Bahwa bangunan keluarga, dalam perspektif psikologis, didasari fondasi utama yang kuat yaitu dorongan fitrah, cinta dan etos ibadah (Samsudin, 2017). Walhasil realitas ini, secara tidak langsung mulai menggerus orientasi sosial membangun keluarga. Fungsi keluarga pada akhirnya mulai mengalami kekacauan akibat polusi desakralisasi lembaga keluarga.
Memperkokoh Spritualitas Agama dalam Keluarga
Tentang bagaimana gejala boneka arwah mulai menyeruak di permukaan, kita sebagai makhluk beretika, tentu tidak bisa tidak terlibat dalam masalah-masalah etis (ethical issues).
Ketika perilaku tersebut mempunyai akibat yang penting bagi orang lain, ketika perilakunya dapat dinilai dengan standar benar dan salah, pada saat itulah masalah etika muncul (Ibrahim & Malik, 1997). Dalam konteks ini, tidaklah etis jika mengabaikan begitu saja maraknya kalangan selebritis merawat boneka layaknya sebagai anak. Persoalannya sekarang, bagaimana riuh boneka arwah itu bisa dieliminasi?
Tampaknya, jawaban ini terpulang kepada masalah kehadiran agama dalam keluarga. Karena bagaimana pun benteng terakhir kita yang sesungguhnya adalah keluarga. Dipahami bahwa pengaruh agama terhadap manusia tidak hanya berhubungan dengan persoalan the sacred, sesuatu yang diyakini suci atau kesakralan. Agama juga meratifikasi psikologi manusia untuk berubah dari satu kesadaran ke kesadaran lainnya. Dengan kata lain, agama sangat penting dalam upaya memotivasi individu dalam sebuah keluarga untuk terus meningkatkan kualitas hidup dan tindakannya (Hanani, 2011).
Dengan demikian, para cendekiawan dan tokoh agama perlu untuk senantiasa memberi pencerahan agama di masyarakat untuk mengantisipasi pudarnya aura fungsi sakralitas keluarga dengan maraknya fenomena spirit doll . Sebagai sumber moral dan tata nilai sistem sosial budaya masyarakat, tentu kita demikian percaya bahwa agama masih bisa menjadi tiang-tiang penopang bagi masyarakat untuk kembali ke jalan yang sesuai fitrah manusia, merumuskan ulang tujuan hidupnya dan meredam situasi anomie yang tengah berkembang dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Referensi
Hanani, Silfia. 2011. Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama . Bandung: Humaniora.
Ibrahim, I. Subandi & Malik, D. Djamaluddin. 1997. Hegemoni Budaya . Yogyakarta: Bentang.
Piliang, Y. Amir. 2004. Posrealitas; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmometafisika . Yogyakarta: Jalasutra.
Sugiharto, Bambang. 2019. Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi: Kajian Filosofis atas Permasalahan Budaya Abab ke-21 . Yogyakarta: Kanisius.
Samsudin. 2017. Sosiologi Keluarga: Studi Perubahan Sosial Keluarga . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
OPINI: Spirit Doll, Sakralitas Keluarga dan Paradoksal Masyarakat Kontemporer
31 Maret 2021
oleh
Hayana
di dalam Opini
Hayana
31 Maret 2021
Label
Blog-blog kami
Arsip
Baca Berikutnya
OPINI: Iduladha dan Visi Solidaritas Sosial